mitos sejarah mesjid agung karawang
Syekh
Quro atau yang bernama asli Syekh Hasanudin yang datang dari Champa
(Kamboja) dan mendirikan pesantren pada tahun 1418 M pada saat kunjungan
yang ke dua di pulau Jawa.
Pada kunjungan yang kedua inilah Syekh Quro mendarat di pelabuhan
Bunut, Desa Bunut Karawang dan mendirikan mushola dan pesantren (yang
sekarang menjadi masjid Agung Karawang).
Menurut cerita masjid kebanggaan warga Karawang ini memiliki misteri
yang tersimpan konon barang siapa yag bertawasul dan itikaf di masjid
ini akan terkabul segala hajat yang di minta.
Konon para pejabat dan calon bupati
melakukan hal yang sama di masjid ini, mereka bermunajat di masjid ini.
sesungguhnya bukan karena masjid Agung tetapi semua rumah Allah (masjid)
adalah tempat yan terbaik dalam memohon doa dan bersimpuh memohon
ridho-Nya.
Masjid Agung dipugar seperti sekarang ini pada jeruji jendela kayu
semuanya berjumlah 17, yang melambangkan jumlah rakaat shalat dalam satu
hari. Konon jumlah 17 ini juga melambangkan tanggal kemerdekaan
Republik Indonesia.
Kurangnya bukti-bukti peninggalan yang berupa tulisan atau prasasti
untuk menyusun Sejarah Karawang khususnya berdirinya Masjid Agung
Karawang menimbulkan berbagai versi sejarah yang dapat ditemui
diberbagai dan disajikan dalam bentuj tulisan.
Di sisi lain yang harus digaris bawahi dan disadari bahwa tidak ada
kebernaran sejarah yang mutlak benar, bergantung kepada siapa yang
menulis dan dari bagaimana mereka mengambil pijakan penulisan.
Dari informasi petugas DKM Masjid Agung Karawang dikatakan sudah
banyak ahli sejarah yang telah berusaha keras untuk menguak misteri
berdirinya Masjid Agung Karawang, dari sekian banyak versi ada terdapat
benang merah yang dapat ditelusuri contohnya adalah dimulainya
penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa khususnya Jawa Barat di mulai pada
tahun 1404 masehi, dimana nyai Subang Larang atau versi lain yang
menyebutkan sebagai Subang Karancang, Dikisahkan sebagai nenek Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang merupakan salah satu wali songo
periode kelima.
Tulisan ini merupakan pengantar dari menguak misteri keberadaan
Masjid Agung Karawang dan juga Misteri Peran Syekh Quro dalam
penyebaran Agama Islam di Karawang serta kisah-kisah yang sempat
dituturkan Imam Masjid Agung beberapa Waktu lalu
Keberadaan Masjid Agung Karawang yang saat ini kokoh berdiri tidak
terlepas dari sosok Syekh Quro atau Syekh Hasanudin Penyebar Agama Islam
di Jawa Barat khususnya di Karawang. Ia menjadikan Masjid Agung
Karawang sebagai Mercusuar penyebaran agama Islam.
Diceritakan Syekh Hasanudin merupakan putera dari Syekh Yusuf Sidik/
Idofi seorang Ulama Besar dari Champa (Kamboja). Ia Kemudian melakukan
penyebaran agama Islam ke Nusantara, ketika itu ia berlabuh di pelabuhan
Cirebon yang kala itu juga dibawah pengawasan Ki Gedeng Tapa/Ki Gedeng
Jumajan Jati.
Kemudian Syekh Hasanudin meminta izin untuk menyebarkan agama Islam
di Cirebon kepada Ki Gedeng Tapa yang pada akhirnya menyetujui dan
mempersilahkan Syekh Hasanudin menyebarkan keyakinannya.
Namun usaha untuk terus melakukan dakwah di cegah oleh kepemimpinan
Raja Galuh yang kala itu di pimpin oleh Prabu Angga Larang/Niskala
Wastu Kancana.
Akhirnya guna menghindari pertumpahan darah Syekh Hasanudin
memutuskan untuk meninggalkan pulau Jawa dengan bertolak ke Malaka. Oleh
Ki Gedeng Tapa, Syekh Hasanudin dititipkan putrinya yang baru berusia
12 tahun untuk menimba Ilmu Agama Islam, putri Ki Gedeng Tapa ini
bernama Nyi Subang Larang.
Waktupun berlalu Syekh Hasanudin memutuskan kembali ke PUlau Jawa
bersama muridnya Nyi Subang Larang, namun kali ini tidak merapat di
Cirebon melainkan memalaui jalur lain yaitu ujung Karawang.
Ia beserta Muridnya menyusuri Sungai Citarum dan menambatkan
perahunya di Pelabuhan Karawang yaitu Bunut Kertayasa (Saat ini dikenal
sebagai Kampung Bunut).
Syekh Hasanudin kemudian meminta izin kepada penguasa setempat untuk
mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat pendidikan
(mengaji), tempat tersebut dikemudian hari dikenal sebagai Pesantren
Quro (Saat Ini dikenal sebagai kawasan Masjid Agung Karawang) pada tahun
1418 Masehi.
Mendengar kabar bahwa Syekh Hasanudin telah tiba dan mendirikan
kediaman di Bunut Kertayasa membuat geram Raja Galuh kala itu Prabu
Angga Larang.
Akhirnya ia mengutus cucunya Raden Pamanah Rasa / Jaya Dewata untuk
membubarkan pusat pendidikan (Pesantren) Syekh Hasanudin. Singkat cerita
Raden Pamanah Rasa datang lengkap dengan pasukan kerajaan menyambangi
pesantren Quro, setelah tiba disana ia secara tidak sengaja mendengar
alunan merdu ayat suci Al-Quran yang dilantunkan oleh Nyi Subang Larang.
Ia kemudian tertarik mendengar lantunan ayat-ayat suci Alquran
tersebut yang akhirnya meluluhkan niatnya untuk membubarkan pesantren
dan kembali ke Galuh.
Sejak peristiwa tersebut Prabu Pamanah Rasa tidak dapat melupakan
kejadian tersebut, ia selalu terngiang akan lantunan suara Nyi Subang
Larang yang melantunkan ayat Suci Alquran, sehingga ia memutuskan
datang ke pesantren kembali untuk melamar Nyi Subang larang.
Raden Pamanah Rasa akhirnya mendatangi Syekh Hasanudin dan
mengutarakan keinginannya untuk mempersunting Nyi Subang Larang. Pucuk
dicinta ulam pun tiba, akhirnya lamaran diterima namaun dengan syarat,
yaitu mas kawin harus Bintang Saketi (bintang Kerti) yang dilambangkan
simbol Tasbih dengan kata lain Prabu Pamanah Rasa harus masuk Islam dan
Syarat kedua adalah salah satu keturunan dari anak yang dilahirkan harus
menjadi Raja Galuh/ karena waktu itu kerajaan Pajajaran belum
terbentuk.
Akhirnya syaratpun diterima dan pernikahan dilaksanakan di Pesantren
Quro, sebagai penghulunya adalah Syekh Hasanudin atau Syekh Quro dan
menurut informasi yang di dapat kala itu Nyi Subang Larang berusia 14
tahun dan Raden Pamanah Rasa kemudian menjadi Raja Pajajaran Bergelar
Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maha Raja.
Dari hasil perkawianan ini dikaruniai tiga orang Anak, yaitu : Raden
Walangsungsang / R. Cakra Buana, Nyi Mas Rara Santang / Sarifah Muda’im,
dan Raden Sengara / Kean Santang.
Kemudian Raden Walangsungsang diberi kekuasan untuk menguasai Cirebon dengan gelar Cakra Ningrat/ Cakra Buana.
Menurut cerita sewaktu Raden Walngsungsang dan Nyi Mas Rara Santang
Menuntut ilmu di Makkah, Nyi Mas Rara Santang dipersuntung oleh
bangsawan Makkah yaitu Syekh Syarif Abdillah, kemudian Nyi Rara Santang
mengganti namanya dengan Syarifah Muadaim dan dikaruniai dua orang putra
yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Narullah.
Pada Tahun 1475 M, Syarifah Muadaim beserta puteranya Syarif
Hidayatullah kembali kepulau Jawa, dari situ dikarenakan Pangeran Cakra
Buana Telah Sepuh pemerintahan diserahkan kepada Syarif Hidayatullah
dengan gelar Sunan Gung Jati,
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda