cinta dalam dalam manusia
Apakah
binatang memiliki cinta? Mungkin kita bisa melihat induk binatang yang
menyusui dan merawat anaknya sebagai sebentuk cinta yang natural. Tapi
benarkah itu adalah bentuk cinta? Apakah yang membentuk sebuah cinta:
insting atau akal budinya? Kalau ada sepasang merpati yang sulit dan
begitu sulit dipisahkan, apakah hal ini bisa dikatakan sebagai sepasang
kekasih dengan cinta sejati? Merujuk pada pemikiran Aristoteles bahwa
binatang disebut binatang karena adanya jiwa instingtif di dalamnya
(jiwa sebagai pembentuk kehidupan. Pada tumbuhan disebut jiwa vegeter
dan pada manusia jiwa rasional). Jadi, apa yang kita lihat sebagai
fenomena cinta pada binatang sebenarnya bersifat instingtif dan non
rasional. Menarik bahwa dalam pemikiran eksistensialisme, cinta dilihat
sebagai sesuatu yang sangat positif, luhur, dan kuat namun sekaligus ada
yang melihat dengan sangat skeptis.
Menurut
Scheler ada tiga macam kegiatan manusia yang memberi ciri khas
kemanusiaannya sebagai pribadi. Ketiga hal tersebut adalah:
a. Refleksi
yaitu kegiatan membuat dirinya sebagai obyek pemikiran. Inilah yang
menyebabkan manusia mengenali dirinya sebagai manusia, mempelajari bukan
hanya tubuhnya sendiri tapi juga jiwanya. Ini khas pada manusia karena
binatang hampir tidak bisa mengenali dirinya.
b. Abstraksi
atau ideasi, menangkap hakekat dari keberadaan di luar dirinya
(eksistensi). Dengan pikirannya, manusia bisa mengenali yang berbeda
dengan dirinya, mempelajarinya dan menguasainya. Ia bisa mengenal atau
setidaknya merefleksikan adanya Tuhan, misalnya.
c. Cinta.
Cinta merupakan kegiatan paling penting sebagai pribadi. Cinta dan
benci adalah tindakan primordial manusia yag mendasari tindakan lain.
Pribadi seseorang dapat diukur dari cintanya. Cinta merupakan bagian
pribadi manusia yang diarahkan kepada nilai absolut.
Cinta
ini megarahkan pribadi melampaui keterbatasannya (unsur transendensi).
Yang diperlukan adalah penyerahan diri, kesetiaan pada institusi dengan
melepaskan segala a priori. Bukan kenginan untuk menguasai. Perlu
kerendahan hati dan penguasaan diri.
Pemikiran
tentang cinta sangat kuat dalam eksistensialismenya Gabriel Marcel.
Menurutnya, cintalah yang memanggil manusia untuk mengadakan hubungan
eksistensial. Cinta bukanlah perasaan emotif tapi menjadi inti kehidupan
yang berproses dalam hubungan manusia. Dia merumuskan empat tahapan
cinta sebagai berikut :
1. Kerelaan
(disponibilite): sebuah sikap kesediaan untuk terbuka, membiarkan agar
orang lain masuk dalam hubungan denganku. Sifat semacam ini berlawanan
dengan sikap kepemilikan yang menutup diri, mencari untung bagi diri
sendiri dan menganggap yang lain sebagai objek.
2. Penerimaan
(receptivite), sikap inisiatip, memulai aktivitas dalam hubungan dengan
mempersilahkan yang lain memasuki duniaku, atau mendengarkan yang lain;
menyediakan tempat dalam diriku untuk yang lain.
3. Keterlibatan
(engagement) sikap yang lebih dalam lagi karena aku ikut ambil bagian
yang lain dalam hubungan itu, memberikan perhatian khusus terhadap
perencanaan-perencanaannya dan menanggapi secara positif sehingga kami
dapat seiring sejalan.
4. Kesetiaan
(fidelite) merupakan sikap total dalam hubungan cinta. Kesetiaan
bukanlah ikut-ikutan tanpa pendirian, melainkan kesediaan untuk terlibat
dengan segala resiko yang ada. Setia bukanlah menjalankan yang rutin
tapi membiarkan dirinya menjadi taruhan.
Dalam
pemikiran itu, cinta menjadi sentral dalam sebuah relasi sehingga aku
dan engkau menjadi satu komunio, aku dan kau menjadi berpadu hati
sebagai kami. Cinta adalah sesuatu (entitas) yang transenden melampaui
keakuan dan keengkauan. Dengan cinta manusia keluar dari dirinya dan
memeluk yang transenden, yang terlampaui olehnya. Yang menarik dari
pemikiran Gabriel Marchel adalah bahwa cinta dalam hubungan
intersubjektif juga menunjukkan suatu kreativitas. Creatio, menjadikan
sesuatu ada dari yang semula tidak ada. Cinta berdaya kreatif. Dalam hal
inipun kemudian terbedakan dalam beberapa taraf. Yang paling sederhana
kreativitas cinta dapat terlihat dalam karya-karya manusia. Seniman yang
mencintai seninya menghasilkan karya seni, petani yang mencintai
pekerjaannya menghasilkan panenan, dll. Kreativitas juga bisa menyangkut
hubungan antar manusia. Misalnya mengangkat presiden, presiden
mengangkat menteri, dll. Ini rakyat secara kreatif berkat daya cintanya
menciptakan presiden dan menteri adalah ciptaan presiden. Kreativitas
ini berkaitan dengan penciptaan kondisi, membuat keadaan yang baru yang
berlaku pada orang itu dan mempengaruhi ‘ada’nya.
Maka,
kreativitas semacam itu mengarah pada kreativitas yang sama sekali baru
dengan menciptakan adanya kebebasan. Berkat cinta seseorang justru
merasa bebas, mampu bergerak dan merealisasikan dirinya karena dia
diterima, didukung, dan dipahami. Kreativitas cinta menumbuhkan
kreativitas subjek yang dicintainya. Secara sangat berbeda, dalam
pandangan eksistensialisme juga, sartre melihat cinta bukanlah suatu
peleburan subjek justru sebagai bentuk objektifikasi tubuh. Jadi, kalau
dalam dua pemikiran di atas manusia dilihat dalam mencintai yang
melampaui kebertubuhannya, Sartre justru menunjukkan cinta secara
dangkal ketika masing-masing hanya dilihat sebagai objek yang bertubuh.
Menurut Sartre, cinta merupakan bentuk lain pengobjekkan terhadap orang
lain maupun diri sendiri secara “pasrah” (dalam bahasa Gramsci:
hagemoni).
Ia
mendaulat cinta sebagai tanda “kegagalan” seseorang untuk
mempertahankan dirinya sebagai “subyek”. Pada perkembangannya, cinta
akan menstranformasi dirinya sebagai entitas yang penuh dengan motif
“memiliki”. Hal tersebut tampak melalui berbagai harapan yang dimiliki
seorang pecinta atas kekasihnya dan demikian pula sebaliknya. Dengan
misal lain, seseorang akan berharap dirinya untuk terus dicintai dan
begitu pula pada pasangannya dengan harapan serupa, sehingga yang
terjadi kemudian adalah pengekangan atas kebebasan, orang yang saling
mencintai pada hakekatnya “terpenjara”, hanya saja penjara tersebut
sedemikian halusnya hingga tak kasat mata.
Dalam
ranah yang lebih filosofis, Sartre menjelaskan bahwa orang yang
mencintai pada hakekatnya hendak memiliki dunia orang yang dicintai,
mengobjekkan berikut meminta menyerahkan dunia serta dirinya secara
“bulat-bulat”. Menurut Sartre, kondisi demikian dapat diandaikan
sebagai, “terjebak pada dunia orang lain”, atau “berada bagi orang
lain”, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang nausea ‘memuakkan’
baginya. Secara konkret, Sartre menjelaskan hal tersebut melalui “hasrat
seksual” serta “hubungan seksual” yang lahir kemudian melalui cinta.
Menurutnya, hasrat seksual merupakan upaya “mereduksi” orang lain
sebagai “tubuh” atau “daging” semata. Namun demikian, pada akhirnya
hasrat selalu gagal mengingat yang diubahnya menjadi daging bukanlah
orang lain semata, melainkan pula “diri sendiri”. Hal tersebut tampak
melalui tenggelamnya seseorang dalam kenikmatan hubungan seks sehingga
melupakan motif dan tujuan semula: menguasai pihak lain. Oleh karenanya
simpul Sartre, “Hasrat pun gagal untuk memulihkan diri saya yang hilang
akibat orang lain”.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda