pahlawan yang terlupakan
Syafruddin Prawiranegara “Presiden Yang Terlupakan”
Sangat di sayangkan, sosok
presiden yang menjabat di Indonesia ini jarang diketahui oleh warga negaranya
sendiri. Pengetahuan mengenai presiden ini tidak diberikan di sekolah-sekolah
umum layaknya presiden lainnya. Walaupun Syafruddin hanya menjabat sebentar
sebagai presiden, seharusnya nama beliau dicantumkan dalam pelajaran sejarah di
sekolah-sekolah agar nama beliau tetap mendapatkan tempat di hati masyarakat
Indonesia. Presiden Sulsilo Bhambang Yudhonono memberikan gelar pahlawan
nasional kepada Syafruddin Prawiranegara dikarenakan beberapa hal. Seperti yang
tercantumkan dalam sebuah artikel yang saya kutip berikut ini. Terbentuknya
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Pada tanggal 19 Desember 1948,
kota Jogjakarta diduduki oleh Belanda. Soekarno dan Hatta kemudian ditangkap
untuk diasingkan ke Pulau Bangka (foto dikiri). Rupanya sebelum ditangkap, sang
Dwi-tunggal sempat mengadakan rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin
Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan sementara. Sehingga pada tanggal 22
Desember 1948, dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan
Mr. Syafruddin Prawiranegara, sebagai Ketua PDRI. Kantor Pemerintahan Indonesia
saat itu, antara lain berpindah dari Jogjakarta ke Bidar Alam, Sumatra Barat
(foto dikanan). Berikut Pidato Syafruddin yang sangat terkenal, saat ia
dilantik (tentu bahasa aslinya dalam ejaan lama) : Belanda mengira bahwa dengan
ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan
putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua
pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti. Kepada
seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda
di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata,
menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami
pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh." Sejak
pidato yang disiarkan secara luas itu membahana ke seluruh pelosok negeri, PDRI
menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI harus bergerak terus sambil
menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda. Perlawanan bersenjata
dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta berbagai laskar di Jawa,
Sumatera serta beberapa daerah lain. Perlawanan PDRI di Sumatra dilakukan
dengan membentuk 5 (lima) wilayah pemerintahan militer. Sehingga menjelang
pertengahan 1949, posisi Belanda makin terjepit. Dunia internasional mengecam
agresi militer Belanda. Sedang di Indonesia, pasukannya tidak pernah berhasil
berkuasa penuh. Keadaan ini memaksa Belanda untuk menghadapi RI di meja
perundingan, yang nantinya menghasilkan kesepakatan yang bernama Perjanjian
Roem-Royen. Dengan perjanjian ini, kembalilah ibu kota Jogjakarta ke tangan
Soekarno-Hatta (foto dikiri saat Jendral Soedirman kembali ke Jogja, diterima
Soekarno). Tidak mengakui kepahlawanan Syafruddin, berarti menganggap bahwa
sejarah Indonesia terputus antara Desember 1948 (sejak Soekarno-Hatta
tertangkap) sampai kembalinya pemerintahan Indonesia ke Jogjakarta pada tanggal
6 Juli 1949. Itulah argumentasi para ahli sejarah. Lalu siapakah yang memojokan
Belanda sehingga mau berunding di perundingan Roem-Royen ?. Tentu PDRI bersama
TNI-lah yang paling berjasa. Lalu bagaimana peran Syafruddin dalam
Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) ? Pada awal
tahun 1958, Pemberontakan PRRI terjadi akibat ketidakpuasan daerah terhadap
pemerintah Soekarno-Hatta, karena ketimpangan sosial yang terjadi dan juga
semakin menguatnya pengaruh komunis (terutama PKI). Syafruddin diangkat sebagai
Presiden PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah (foto dikanan). Namun
pemberontakan ini hanya berlangsung kurang dari setahun. Pada bulan Agustus
1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta
berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan
PRRI. Keputusan Presiden RI No.449/1961 kemudian menetapkan pemberian amnesti
dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan, termasuk
PRRI. Menurut para ahli sejarah, kalau amnesti dan abolisi sudah diberikan,
maka pemberontakan PRRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara, secara de
Facto dan de Jure dimaafkan oleh Pemerintah Indonesia yang sah. Itulah alasan
kenapa para ahli sejarah mendukung pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada
Syafruddin. Lalu saya bertanya, “Apakah Soeharto bisa diusulkan menjadi
Pahlawan Nasional ?”. Nampaknya salah satu hal yang mempersulit Soeharto untuk
menerima penghargaan ini adalah, kebijakan “genocide” (pembunuhan massal tanpa
proses hukum) yang pernah ia dilakukan. Peristiwa Genocide ini terjadi setelah
perisitiwa G-30-S PKI dan juga peristiwa Pembunuhan Misterius (petrus).
Buku-buku sejarah menunjukkan dan juga bahkan tulisan Soeharto sendiri
menjelaskan, bahwa kebijakan Genocide, memang perintah yang dikeluarkan
Soeharto. “Lalu bagaimana dengan Gus Dur”, tanya saya. Menjawab pertanyaan ini,
para ahli sejarah terkesan hati-hati. Namun menurut mereka, salah satu kriteria
gelar pahlawan adalah pernah memimpin perlawanan bersenjata terhadap penjajah.
Berdasarkan artikel tersebut, sudah selayaknya Syafruddin Prawiranegara
mendapatkan gelar kehormatan ini, karena beliaupun turut berjasa kepada Bangsa
Indonesia. Ada Presiden lainnya yang luput dari pemberitaan, hal ini sangat
disayangkan karena seharusnya bangsa ini lebih menghargai jasa-jasa siapapun
yang ikut memajukan Bangsa Indonesia.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda